- Hidup Semenjana
- Posts
- ☕Mencari Waktu Ngopi di Bulan Ramadan
☕Mencari Waktu Ngopi di Bulan Ramadan
Merasa Kehilangan
Saya biasa ngopi pukul 10 pagi dan 3 sore. Setiap hari. Ketika puasa, ada rasa kehilangan ketika jam-jam itu tiba.
Saya mencoba mencari waktu lain untuk ngopi. Habis isya atau saat sahur.
Efek kafein di tubuh saya rasanya tidak ada efeknya. Kalau ngantuk ya tidur saja. Walaupun habis nyeruput 2 shoot espresso sekali tenggak. Mata bisa langsung lengket kalau kepala nempel di kasur.
Kalau habis isya, kadang saya sudah tertidur padahal kopi di cangkir masih banyak.
Kalau pas sahur, rasanya waktu menikmati kopi cuma sebentar. Tidak bisa lama-lama.
Padahal, saya termasuk peminum kopi yang minumnya pelan-pelan. Satu seruput berhenti. Sampai cukup membasahi tenggorokan saja. Letakkan. Seruput lagi nanti.
Satu cangkir kopi bisa baru habis setengah hari. Kalau habis rasanya langsung pengin bikin lagi. Itu jadi sebab kenapa saya lama-lama menghabiskan kopinya — biar tidak kebanyakan bikin kopi terus-terusan.
Zaman kuliah dulu, di kosan, pagi-pagi saya bikin kopi, lalu baru satu seruputan saya tinggal kuliah, baru sore sepulang dari kampus saya lanjutkan lagi.
Saya tidak tahu, kopi itu masih aman atau tidak dibiarkan berlama-lama seperti itu. Tapi, praktik itu masih sering saya lakukan. Yang paling sering, bikin kopi malam hari, lalu tidur, baru saya habiskan saat bangun di pukul 3 dini hari itu.
Tapi sampai hari ini sepertinya aman-aman saja tubuh saya. 😁
Yang terkadang selip adalah minum air putih. Dulu sewaktu muda karena kebiasan minum kopi saya seperti itu, konsumsi minum putih saya minim sekali. Saya jadi sering sariawan.
Saya dulu memang jarang sekali minum air putih. Kalau di kosan bikin kopi. Kalau di kampus, kalau beli makan, minumnya es teh. Rasanya minum air putih saja aneh.
Kini saya sudah tobat. Saya sudah belajar minum air putih. Sudah belajar minum air putih dengan baik. Sudah taraf jadi kewajiban untuk minum air putih.
Pun terutama karena saya meminimalisir konsumsi gula. Bikin kopi selalu tanpa gula. Kalau makan di luar, sekarang lebih sering pesan air es saja.
Mengurangi konsumsi gula bikin tubuh lebih segar dan enteng. Saya setelah revolusi glukosa turun sampai 8 kg.
Anda sudah tahu, gula yang saya maksud bukan hanya gula pasir yang untuk tambahan bikin teh atau kopi itu.
Kembali ke kopi tadi. Saya juga bukan fanatik kopi. Kopi apa saja saya suka. Yang praktis atau pun yang bikinnya ribet.
Tapi kalau ditanya, favorit saya: kopi arabika dengan seduhan americano.
Saya sering pesan konsentrat espresso ke rekan kerja yang punya usaha kopi. Lalu di rumah saya seduh jadi americano.
Kalau tidak ada itu, kopi saset (kapal api atau nescafe classic) yang paling murah di warung kelontong itu lebih sering saya pilih.
Tidur saya masih belum pulih. Puasa hari kedua saya melewatkan sahur. Saya bangun karena mendengar suara azan subuh dari Masjid kompleks.
Saya tidak terlalu berharap dibangunkan istri, karena dia lebih berantakan jam tidurnya karena baru menyusui.
Pun kesalahan saya, belum pasang alarm — karena saya mengandalkan bangun otomatis pukul 3 dini hari sebelum istri melahirkan.
Tulisan ini pun saya tulis tengah malam. Karena habis isya saya sudah tertidur. Tengah malam saya terbangun dan tidak terasa mengantuk untuk melanjutkan tidur.
Lalu saya membuka laptop, barangkali jadi mengantuk, saya membaca tulisan Uda Ivan Lalin: Mengapa Kita Boleh Saja Menulis Setiap Hari dan rasanya saya jadi termotivasi untuk langsung menulis lagi.
Tulisan inilah jadinya. (Johan)