Satu Laki-laki Empat Perempuan

Cerita keluarga bahagia

Ini bukan cerita poligami. Ini tentang keluarga saya. Yang akhir pekan lalu bertambah anggotanya. 

Istri saya baru saja melahirkan. Anak ketiga. Anak pertama sudah kelas 2 SD. Sedangkan anak kedua baru mau 2 tahun bulan Maret nanti.

Semuanya perempuan.

Bayangkan, saya seorang introvert punya empat perempuan dalam satu rumah. Hhaha

Istri saya hamil anak yang ketiga saat anak saya yang kedua usia 1,5 tahun. Ia masih punya hak untuk minum ASI. Tapi mau tidak mau harus berhenti. Segera. Anda sudah paham. Ini anak sundulan.

Setiap anak punya dramanya masing-masing. 

Anak pertama dan kedua lahir normal. Di bidan.

Anak pertama lahir dengan bobot 4,3 kg. Bayi besar. Pukul 9 pagi perut istri saya sakit. Lalu kami bawa ke bidan. Sudah bukaan. Tapi baru bukaan pertama. Oleh bidan disuruh pulang dulu.

Kontraksi demi kontraksi semakin lama semakin dekat jaraknya. Sebagai laki-laki saya tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya. Semoga semua ibu di dunia mendapatkan balasan terbaik atas pengorbanannya.

Ini pengalaman pertama. Kami buta tentang persalinan. Sampai tengah malam bayi kami belum bisa keluar. Sudah bukaan lengkap. Sudah ambil napas buang napas sesuai arahan bidan.

Hampir menyerah. Hampir kehabisan tenaga. Tapi tetap yakin. Terus berusaha. Kami jaga terus asa itu. Dari setiap tarikan napas.

Pukul 1 dini hari akhirnya keluar. Lega. Tidak terlihat seperti bayi baru lahir. Besar. Sudah seperti bocah.

Betapa berisikonya persalinan anak pertama kami. Istri saya cukup lama merasa traumatiknya. Kami cukup menyesali metode persalinan anak pertama kami.

Anak pertama saya itu suka berimajinasi. Suka sekali menggambar, mewarnai, dan bikin-bikin prakarya. Suka motongin kertas. Apa saja jadi mainan. Kalau lagi sendiri terasa masuk dunia lain. Punya dunia sendiri. 

Anak kedua ekstrovert. Tidak punya takut. Ketemu anak kecil langsung diajakin main. Sama orang asing gampang ikut. Suka naik-naik apa saja. Kursi. Meja. Tangga. Bikin yang lihat tratapan.

Istri saya punya wasir. Dua kali melahirkan normal wasirnya keluar. Sangat berisiko. Bisa pendarahan. Selesai persalinan harus berurusan dengan wasir yang kumat.

Pun kedua anak kami punya riwayat bayi besar. Yang kedua 3,9 kg. Termasuk masih besar. Sudah kami tahan-tahan agar tidak besar seperti yang pertama.

Maka anak yang ketiga kami lebih intens konsultasi ke dokter. Secara psikologis pun kami lebih tenang daripada kehamilan sebelumnya. Walaupun secara psikologis istri saya belum siap untuk mengandung lagi.

Beruntung jabang bayinya sangat baik hati. Sepanjang kehamilan tidak neko-neko. Anteng. Tidak minta aneh-aneh. Tidak banyak drama. Beda sekali dengan kedua anak kami sebelumnya. Begitu lancar sampai kami heran sendiri.

Pun ketika lahir. Anaknya anteng. Beda juga dengan mbak-mbaknya. Tidak banyak menangis. Lebih banyak diemnya. Pun ASI istri saya kali ini cepat keluarnya. Tidak sampai bikin panik karena tidak kunjung keluar.

Bisa jadi karena kali ini kami lahiran di rumah sakit. Suasananya begitu berbeda. Full supportnya bikin pikiran tenang. Kami agak menyesal tidak melahirkan di rumah sakit dari dulu.

Semua punya ceritanya. Penyesalan tidak bisa diulang. Sudah terlewati. Kami hanya ingin membersamai anak-anak ini untuk bisa mandiri. Agar mereka siap menghadapi tantangan zaman mereka sendiri.

Semua anak saya perempuan. Saya senang-senang saja. Istri saya kadang tertekan. Oleh suara orang-orang. Yang suka nyeplos kalau belum ada anak laki-laki belum lengkap.

Untungnya saya termasuk yang tidak pedulian bagaimana kata orang. Mungkin inilah kelebihannya introvert. Prinsip saya, asal tidak merugikan atau mencelakai orang lain. Saya sangat independen. Kebahagiaan saya tidak ditentukan oleh siapa pun.